1577503671
in

Akankah Jokowi Jatuh Sebelum 2024?

Menariknya, terdapat suatu kekompakan dari berbagai tokoh oposisi yang memprediksi pemerintahan Presiden Jokowi tidak akan sampai 2024. Lantas, dengan gelombang masalah seperti lesunya ekonomi dan wabah virus Corona, akankah itu menjadi preseden bagi jatuhnya sang presiden?


ikhtisar – Pada 21 Januari 2020, pengamat politik yang sekarang suaranya tidak lagi berdengung di Indonesia Lawyers Club (ILC), Rocky Gerung memberikan prediksi yang cukup mengejutkan. Bagaimana tidak, sosok yang pernah menjadi ghostwriter Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan sampai 2024.

Menurut Rocky, Presiden Jokowi tengah mengalami surplus ketidakpercayaan publik seiring dengan terjadinya kontradiksi kebijakan dan inkonsistensi janji kampanye. Jika hal tersebut dibiarkan, alumnus filsafat Universitas Indonesia tersebut memprediksi akan terjadi demonstrasi dari mahasiswa, yang tentunya itu dapat menimbulkan gejolak politik.

Senada, pada 28 Februari 2020, pengamat ekonomi dan politik Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan juga mengutarakan hal serupa, bahkan memberikan prediksi waktu yang spesifik terkait kejatuhan tersebut. Menurutnya, dengan adanya wabah virus Corona yang memporak-porandakan ekonomi Tiongkok, itu dapat menjadi preseden atas kejatuhan Presiden Jokowi yang akan terjadi dalam waktu enam bulan ke depan.

Hal tersebut terjadi karena selama ini pemerintah dinilai terlalu bergantung pada Tiongkok, sehingga dengan adanya wabah tersebut, tidak terdapat lagi “penolong sigap” yang akan membantu Indonesia dalam menghadapi masalah ekonomi yang tengah terjadi.

Terbaru, mantan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli (RR) turut memprediksi hal buruk akan terjadi. Tandasnya, akan terjadi krisis ekonomi besar yang terjadi menjelang lebaran.

Menurut RR, terdapat lima faktor penting di sektor ekonomi yang jika terjadi secara bersamaan dapat memicu hal tersebut, yakni indikator makro ekonomi yang merosot, daya beli yang menurun, kasus Jiwasraya, ekonomi digital yang mengalami koreksi valuasi, dan terjadinya gagal panen para petani.

Konteks prediksi ketiga sosok tersebut menjadi semakin menarik karena beberapa waktu yang lalu, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung diketahui melarang Presiden Jokowi berkunjung ke Kota Kediri karena khawatir mantan Wali Kota Solo tersebut akan bernasib sama seperti Gus Dus.

Pasalnya, terdapat suatu mitos yang menyebutkan bahwa jika terdapat kepala negara yang tidak baik berkunjung ke Kediri, maka ia akan lengser sebelum masa jabatannya berakhir. Dengan demikian, mungkinkah Pramono menyadari bahwa konteks mitos tersebut sangat sesuai dengan Presiden Jokowi sehingga memberikan larangan?

Lantas, jika benar demikian, bagaimanakah prediksi ketiga sosok oposisi tersebut dapat dimaknai?

Mengapa Prediksi Dilakukan?

Selaku peristiwa yang belum tentu dapat terjadi, tentu saja mustahil untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Akan tetapi, kendati hal tersebut sebenarnya disadari oleh manusia, mengapa prediksi masa depan – seperti yang dilakukan oleh Rocky, Syahganda, dan RR – tetap dilakukan?

Lawrence R. Samuel dalam tulisannya Why Do We Think So Much of the Future?, menyebutkan bahwa masa depan telah berfungsi sebagai tempat untuk menampung ketakutan terburuk ataupun harapan manusia. Menurutnya, masa depan selalu membawa kesan misterius karena memiliki semacam kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui.

Samuel juga menyebutkan bahwa nabi-nabi terdahulu kerap membawa narasi prediksi masa depan, seperti kiamat, surga, ataupun neraka – karena narasi-narasi semacam itu memang berguna untuk mendapatkan atensi masyarakat. Selain itu, statusnya yang merupakan prediksi masa depan membuat narasi tersebut menjadi sulit untuk dibantah.

Pada konteks prediksi yang disebutkan oleh Rocky, Syahganda, ataupun RR, narasi yang dibawa oleh ketiganya dapat dimaknai dalam dua sudut pandang. Di satu sisi, mungkin itu adalah kemungkinan terburuk yang mereka khawatirkan akan terjadi pada pemerintahan Presiden Jokowi. Namun, di sisi lain, prediksi tersebut dapat pula dimaknai sebagai pemenuhan harapan mereka yang mungkin tidak puas dengan pemerintahan Presiden Jokowi.

Jika Samuel menyebut prediksi masa depan menjadi semacam pemenuhan hasrat psikologis, Michael D. Ward dan Nils Metternich dalam tulisannya Predicting the Future Is Easier Than It Looks justru memberikan pandangan yang berbeda.

Menurut mereka, prediksi masa depan – seperti melakukan prediksi politik – tidak lagi mustahil, melainkan telah menjadi hal yang benar-benar dapat dilakukan.

Tandasnya, dengan adanya revolusi di bidang statistika, konfigurasi variabel-variabel politik menjadi data sehingga nantinya dapat dikalkulasi membuat fenomena politik tidak menjadi suatu hal yang misteri lagi.

Ward dan Metternich misalnya mencontohkan kalkulasi yang dilakukan oleh Quincy Wright dalam tulisannya yang berjudul A Study of War. Dalam tulisan itu, Wright memetakan indikasi-indikasi yang tidak hanya dapat mengetahui kemungkinan perang, melainkan juga dapat mengetahui tingkat ketegangan umum suatu negara.

Merujuk pada Ward dan Metternich, dengan adanya indikasi-indikasi yang disebutkan oleh Rocky, Syahganda, dan RR, dapat disimpulkan bahwa prediksi kejatuhan itu mungkin bukanlah semacam hasrat dalam mengkritik semata, melainkan merupakan suatu kalkulasi yang boleh jadi akan terwujud nantinya.

What do you think?

Written by admin

ilustrasi kronologi pelecehan seksual warga jerman

Kisah Miris Perawat Pasien Corona Yang Diusir Dari Kosan

PhotoGrid 15851103877412 resize 74 compress26

Insya Allah, Jelang Lebaran Indonesia Sudah Bebas Dari Corona