Ikhtisar – Sejumlah tenaga medis positif terjangkit COVID-19 bahkan ada yang meninggal. Selain minimnya APD, penyebab lain karena pasien tidak jujur ketika dimintai keterangan. tirto.id – Sejumlah tenaga medis terjangkit virus Corona jenis baru atau COVID-19 saat menangani pasien yang positif.
Tak hanya itu, bahkan banyak tenaga medis yang meninggal karena virus tersebut. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun mengatakan hingga Kamis (26/3/2020) kemarin, hampir 50 tenaga medis yang terpapar COVID-19 atau pandemi virus Corona di DKI Jakarta selama menangani pasien.
Dari puluhan tim medis yang terpapar COVID-19 itu, Anies mengatakan dua diantaranya telah meninggal dunia. Kejadian itu terjadi di 24 Rumah Sakit DKI Jakarta. “Jumlah tenaga medis yang terpapar di Jakarta saja itu sampai 50 orang.
Jadi angka itu menggambarkan betapa besarnya risiko, dan ada dua yang meninggal,” kata dia di Gedung Balai Kota DKI, Jakarta Pusat Kamis (26/3/2020). Pada 23 Maret, IDI mengumumkan 6 sejawat dokter yang meninggal sebagai “korban pandemi Covid-19″, lima dokter di antaranya terinfeksi virus tersebut.
Berikutnya, tiga dokter yang meninggal masing-masing adalah seorang pengurus IDI Jakarta Barat, anggota IDI Bandung, dan pejabat dinas kesehatan Kota Bogor, satu klaster dengan rombongan Bima Arya.
Ketua Purna Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Ilham Oetama Marsis menilai selain minimnya ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD).
Faktor yang menyebabkan tenaga medis terkena COVID-19 yaitu karena pasien tidak jujur ketika dimintai keterangan.
Seperti gejala yang tengah pasien alami, berinteraksi dengan orang asing, riwayat perjalanan ke wilayah terpapar COVID-19, maupun ke daerah yang telah ditetapkan sebagai zona merah, dan hal lainnya.
“Ketidakjujuran pasien akan mengakibatkan penyimpangan tata laksana pasien,” kata dia kepada Tirto, Minggu (29/3/2020). Oleh karena itu, Ilham pun mengimbau agar pasien COVID-19 memberikan informasi secara jujur.
Sebab tim medis nantinya akan mampu mengidentifikasi penyebab pasien tersebut terpapar COVID-19, meminta pemerintah untuk melakukan disinfektan ke lokasi yang pernah dikunjunginya, termasuk rumah pasien, dan beberapa hal lain.
Tujuannya agar penyebaran COVID-19 tidak semakin meluas lagi dan pemerintah dapat mencegahnya.
Sehingga tidak terjadi tumpukan pasien COVID-19 seperti hari ini dan mengakibatkan tenaga medis kewalahan, bahkan sampai terjangkit virus corona hingga meninggal dunia. “Informasi yang jujur akan sangat membantu tugas Tim Medis dalam tata laksana pasien,” pungkasnya.
Padahal, kata dia, PPNI bersama organisasi kesehatan lainnya sejak awal sudah mengimbau kepada pasien untuk menceritakan riwayat perjalanan mereka sebelum dinyatakan positif COVID-19.
Dirinya menilai alasan pasien positif COVID-19 tidak memberikan informasi yang benar lantaran khawatir mendapat stigma negatif dari publik. Terutama dari rekannya yang pernah berinteraksi dengannya selama beberapa waktu belakangan. “Kalau seperti itu sebenarnya tidak perlu khawatir.
Malah itu merupakan hal yang bagus, jadi kita bisa mengantisipasi agar tidak ada korban lagi,” kata dia kepada Tirto, Minggu (29/3/2020).
Dia pun menegaskan, bahwa pengidap positif COVID-19 bukanlah seorang kriminal, sehingga tidak perlu berbohong atau pun menyembunyikan sesuatu. Padahal, kata dia, ketika seorang pasien memberikan informasi secara jujur, maka akan menyelamatkan nyawa banyak orang, termasuk tim medis, agar tidak ikut terpapar virus tersebut.
“Ubah stigma kriminal semacam itu. Ikuti pedoman yang telah dikasih tahu dokter,” ucapnya. Harif menuturkan, jika pasien malah menyembunyikan informasi kata dia, akan berakibat fatal bagi banyak orang.
Oleh karena itu, dia kembali mengimbau kepada para pasien COVID-19 untuk memberikan informasi secara komprehensif perihal riwayat perjalanan mereka.
“Karena keterbukaan sangat penting karena memang untuk kepentingan orang banyak. Supaya bisa memudahkan tracking, sehingga kita bisa mencegah penularan ke orang lain yang pernah berinteraksi dengan pasien,” jelas dia.
Source: tirto.id